home   profile   email    

Arif Widodo

 

 

Personal & dakwah portal


Note:tidak berfungsi loh
MENU utama :
Foto ikhwah aksi
Artikel Politik

 

       

[hadiah Lainnya]
Ghazwul Fikri
 Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang
 bersemangat mengajarkan sesuatu
 kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap
 murid-muridnya.
 Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada
 penghapus. Sang guru
 berkata, "Saya punya permainan... Caranya begini, di
 tangan kiri saya ada
 kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya
 angkat kapur ini, maka
 berserulah "Kapur!",  jika saya angkat penghapus
 ini, maka berserulah
 "Penghapus!"  Murid muridnya pun mengerti dan
 mengikuti. Sang guru
 berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri
 tangannya, semakin lama
 semakin cepat.
 Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata,
 "Baik sekarang perhatikan.
 Jika saya angkat kapur, maka berserulah
 "Penghapus!", jika saya angkat
 penghapus, maka katakanlah "Kapur!". Dan
 dijalankanlah adegan seperti tadi,
 tentu saja murid-murid kerepotan dan kelabakan, dan
 sangat sulit untuk
 merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa
 beradaptasi dan tidak lagi sulit.
 Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru
 tersenyum kepada
 murid-muridnya.
 "Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang
 haq itu haq, yang
 bathil itu bathil.  Kita begitu jelas membedakannya.
 Namun kemudian,
 musuh-musuh kita memaksakan kepada kita lewat
 berbagai cara, untuk membalik
 sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan
 sebaliknya.  Pertama-tama mungkin
 akan sulit bagi kita menerima hal tersebut, tapi
 karena terus
 disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh
 mereka, akhirnya lambat laun
 kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai
mengikutinya. Musuh-musuh
 kalian tidak pernah berhenti membalik nilai."
"Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, selingkuh dan
 zinah tidak lagi jadi
 persoalan, pakaian mini menjadi hal yang lumrah, sex
 before married menjadi
 suatu hiburan, materialistis dan permisive kini
 menjadi suatu gaya hidup
 pilihan, tawuran menjadi trend pemuda... dan lain
 lain."
 "Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian
 sedikit demi sedikit
 menerimanya. Paham?" tanya Ibu Guru kepada
 murid-muridnya.
 "Paham buu..."
 "Baik permainan kedua..." begitu Bu Guru
 melanjutkan. "Bu Guru punya Qur'an,
 Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian
 berdiri di luar karpet.
 Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil
Qur'an yang ada di tengah
 tanpa menginjak karpet?"
 Nah, nah, nah. Murid-muridnya berpikir keras. Ada
 yang punya alternatif
 dengan tongkat, dan lain-lain.
 Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia
 gulung karpetnya, dan ia
 ambil Qur'annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak
 karpet.
 "Anak-anak, begitulah ummat Islam dan
 musuh-musuhnya... Musuh-musuh Islam
 tidak akan menginjak-injak kalian dengan
 terang-terangan...  Karena tentu
 kalian akan menolaknya mentah mentah. Preman pun tak
akan rela kalau Islam
 dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan
 menggulung kalian perlahan-lahan
 dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar."
"Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat,
 maka dibangunnyalah pondasi
 yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka
 bangunlah aqidah yang
 kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu
 susah kalau membongkar
 pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding
 akan dikeluarkan dulu,
 kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu
 satu persatu, baru rumah
 dihancurkan..."
 "Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia
 tidak akan menghantam
 terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan
 mencopot kalian. Mulai dari
 perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian
 kalian, dan lain-lain,
 sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah
 meninggalkan ajaran Islam
 dan mengikuti cara yang mereka... Dan itulah yang
 mereka inginkan."
 "Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang
 pemikiran). Dan inilah yang
 dijalankan oleh musuh musuh kalian... Paham
 anak-anak?" "Paham buu!"
 "Kenapa mereka tidak berani terang-terangan
 menginjak-injak Islam, Bu? "
 tanya mereka. "Sesungguhnya dahulu mereka
 terang-terangan menyerang, semisal
 Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi
 sekarang tidak lagi."
 "Begitulah Islam... Kalau diserang perlahan-lahan,
 mereka tidak akan sadar,
 akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak
 terang-terangan, mereka akan
 bangkit serentak, baru mereka akan sadar."
 Kalau saja ummat Islam di Ambon tidak diserang,
 mungkin umat Islam akan
 lengah terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu
 mengincar mereka.  Paham
 anak-anak?" "Paham Buu.."
 "Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali
 ini, dan mari kita berdoa
 dahulu sebelum pulang..."
 Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar
 meninggalkan tempat
 belajar mereka dengan pikiran masing-masing di
 kepalanya.