[kembali ke artikel]

oleh Dr. Yusuf Qardhawi
SYUBHAT
 
SETELAH tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan,  maka
di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui
hukumnya oleh orang banyak, yang masih  samar-samar  kehalalan
maupun  keharamannya.  Perkara  ini sama sekali berbeda dengan
perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.
 
Oleh  sebab  itu,  orang   yang   memiliki   kemampuan   untuk
berijtihad,  kemudian  dia  melakukannya,  sehingga memperoleh
kesimpulan hukum yang membolehkan atau  mengharamkannya,  maka
dia  harus  melakukan  hasil  kesimpulan  hukumnya.  Dia tidak
dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena  khawatir
mendapatkan  celaan  orang  lain.  Karena sesungguhnya manusia
melakukan penyembahan terhadap  Allah  SWT  berdasarkan  hasil
ijtihad  mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian
untuk  melakukannya.  Apabila  ijtihad  yang  mereka   lakukan
ternyata  salah,  maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan
satu pahala.
 
Dan barangsiapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang
lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling
dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk  tetap  mengikutinya
selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang
dia ikuti.
 
Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu  perkara,  dan
belum  jelas  kebenaran  baginya,  maka  perkara  itu dianggap
syubhat, yang harus dia jauhi untuk  menyelamatkan  agama  dan
kehormatannya;   sebagaimana  dikatakan  dalam  sebuah  hadits
Muttafaq 'Alaih:
 
   "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya
   yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada
   perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya
   oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi
   syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan
   kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke
   dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang
   haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya
   di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang
   ternaknya memakan rumput di sana." 63
 
Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang  pandai
dan  dapat  dipercaya  dalam  perkara  yang  masih  diragukan,
sehingga dia mengetahui  betul  hakikat  hukumnya.  Allah  SWT
berfirman:
 
   "...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
   pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
 
Dalam sebuah hadits disebutkan:
 
   "Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu?
   Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesat
   adalah dengan bertanya." 64
 
Cara orang menghadapi masalah syubhat  inipun  bermacam-macam,
tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat
dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara' mereka.
 
Ada orang  yang  tergolong  kawatir  yang  senantiasa  mencari
masalah  syubhat  hingga  masalah  yang  paling kecil sehingga
mereka  menemukannya.  Seperti  orang-orang   yang   meragukan
binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang
sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang  jauh
dan  menyamakan  hal  yang  mustahil  dengan kenyataan. Mereka
mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga  mereka  mempersempit
ruang  gerak  mereka  sendiri,  yang sebetulnya diluaskan oleh
Allah SWT.
 
   "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
   menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
   diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu..."
   (al-Ma'idah: 101)
 
Sebagai  orang  Muslim  tidaklah   patut   bagi   kita   untuk
mencari-cari hal yang lebih sulit.
 
Dalam  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Bukhari  dari
'Aisyah sesungguhnya Nabi saw  pernah  ditanya,  "Sesungguhnya
ada  suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging,
dan kami tidak mengetahui apakah mereka  menyebut  nama  Allah
ketika  menyembelihnya ataukah tidak." Maka Nabi saw bersabda,
"Sebutlah nama Allah dan makanlah."
 
Imam Ibn Hazm  mengambil  hadits  ini  sebagai  suatu  kaidah:
"Sesuatu  perkara  yang  tidak  ada pada kami, maka kami tidak
akan menanyakannya."
 
Diriwayatkan bahwasanya  Umar  r.a.  pernah  melintasi  sebuah
jalan  kemudian  dia  tersiram  air  dari  saluran  air  rumah
seseorang; ketika  itu  dia  bersama  seorang  kawannya.  Maka
kawannya  berkata,  "Hai  pemilik  saluran air, airmu ini suci
atau najis?" Maka Umar  berkata,  "Hai  pemilik  saluran  air,
jangan   beritahu  kami,  karena  kami  dilarang  mencari-cari
masalah."
 
Ada sebuah hadits shahih dari Nabi  saw  bahwa  ada  seseorang
yang  mengadu  kepadanya  tentang orang yang merasa bahwa dia,
merasakan sesuatu, ketika shalat atau ketika berada di masjid.
Maka Nabi saw menjawab, "Jangan kembali, sampai dia 'mendengar
suara' atau merasa buang angin. "
 
Dari hadits ini para ulama menetapkan suatu kaidah: "Keyakinan
tidak  dapat  dihilangkan  dengan  keraguan.  Dan sesungguhnya
orang itu harus berbuat sesuai dengan  keyakinan  asalnya  dan
menyingkirkan  keraguannya."  Inilah  cara  yang  paling pasti
untuk menyingkirkan keraguan.
 
Pada suatu  hari  Rasulullah  saw  pernah  menyambut  undangan
seorang  Yahudi.  Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya
apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah
tidak.  Nabi  saw  dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang
diambil dari mereka, pakaian  yang  ditenun  oleh  orang-orang
kafir  dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin
berperang,  mereka  juga   membagi-bagikan   wadah,   pakaian,
kemudian  mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa
mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.65
 
Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya  karena
berpegang kepada hadits shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau
pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang  memakan  babi,
dan meminum khamar. Beliau menjawab "Jika kamu tidak menemukan
yang lainnya, maka  basuhlah  dengan  air,  kemudian  makanlah
dengan bejana itu." 66
 
Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada
antara  halal  dan  haram;  yakni  yang  betul-betul halal dan
betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang menjauhinya,
berarti  dia  telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang
bercampur antara yang halal dan haram."
 
Ibn Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada  cara
bermuamalah   dengan   orang  yang  di  dalam  harta  bendanya
bercampur antara barang yang  halal  dan  barang  yang  haram.
Apabila  kebanyakan  harta bendanya haram, maka Ahmad berkata,
'Dia harus dijauhkan kecuali  untuk  sesuatu  yang  kecil  dan
sesuatu yang tidak diketahui.' Sedangkan ulama-ulama yang lain
masih berselisih pendapat apakah  muamalah  dengan  orang  itu
hukumnya makruh ataukah haram?
 
Jika  kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan
melakukan muamalah dengannya, dan makan dari  harta  bendanya.
Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang
hadiah-hadiah yang diberikan oleh  penguasa:  "Tidak  apa-apa,
jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih
banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi saw  dan
para  sahabatnya  pernah melakukan muamalah dengan orang-orang
musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi  hal-hal
yang haram secara menyeluruh."
 
Jika  ada  suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini
dikatakan  syubhat.  Dan   orang-orang   wara'   (yang   lebih
berhati-hati   dalam   menjauhkan   diri   dari   kemaksiatan)
meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat  ini.  Sufyan
berkata,   "Hal   itu  tidak  mengherankan  saya,  yang  lebih
mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya."
 
Az-Zuhri dan Makhul berkata, "Tidak apa-apa  bagi  kita  untuk
memakan  sesuatu  yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram,
jika tidak diketahui dengan mata kepalanya  sendiri  bahwa  di
dalam  barang  itu  terdapat  sesuatu  yang haram." Ini sesuai
dengan apa yang ditegaskan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal.
 
Ishaq bin Rahawaih  berpendapat  sesuai  dengan  riwayat  yang
berasal  dari  Ibn  Mas'ud  dan  Salman,  dan  lain-lain  yang
mengatakan  bahwa  perkara  ini   termasuk   rukhshah;   serta
berdasarkan  riwayat  yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin
yang membolehkan pengambilan sesuatu yang  berasal  dari  riba
dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.
 
Imam  Ahmad  berkata  tentang harta benda yang masih diragukan
kehalalan dan keharamannya, "Jika harta  benda  itu  jumlahnya
sangat  banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan,
dan kita boleh mengadakan transaksi dengan  harta  yang  masih
tersisa.   Tetapi  jika  harta  bendanya  sedikit  kita  harus
menjauhi  barang-barang  itu  semuanya.  Dengan  alasan  bahwa
sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur
dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita  lebih
selamat  dari  benda  yang  haram tersebut, dan berbeda dengan
barang yang jumlahnya banyak. Di antara sahabat kami ada  yang
lebih  berhati-hati  dalam  menjaga  suasana wara'nya sehingga
mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman.  Kelompok
ini  membolehkan  transaksi  dengan  harta yang sedikit maupun
banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur
di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab
Hanafi  dan  lain-lain.  Pendapat  inilah  yang  diikuti  oleh
orang-orang wara', seperti Bisyr al-Hafi.
 
Sekelompok  ulama  salaf yang lain memberikan keringanan untuk
memakan makanan dari  orang  yang  diketahui  bahwa  di  dalam
hartanya  ada  sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu
barang haram itu dengan mata  kepalanya  sendiri;  sebagaimana
pendapat  Makhul  dan  al-Zuhri  yang  kami  sebutkan di muka.
Begitu  pula  pendapat  yang  diriwayatkan  dari  Fudhail  bin
'Iyadh.
 
Sehubungan  dengan  hal  ini ada beberapa riwayat yang berasal
dari para ulama salaf. Ada sebuah riwayat  yang  berasal  dari
Ibn Mas'ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai
tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan.  Dia
merasa  tidak  bersalah  dengan  adanya  barang kotor yang dia
pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas'ud
menjawab,  "Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu
untukmu dan dosanya ditanggung olehnya." 67
 
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang itu berkata,  "Aku
tidak  tahu  sesuatupun dari miliknya selain barang yang kotor
dan haram." Ibn Mas'ud menjawab:  "Penuhi  undangannya."  Imam
Ahmad  men-shahih-kan riwayat ini dari Ibn Mas'ud, akan tetapi
dia menolak isi riwayat  darinya  dengan  berkata,  "Dosa  itu
melingkari (hawazz) hati." 68
 
Bagaimanapun,  perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah
itu  halal  atau  haram,  karena  banyak  orang   yang   tidak
mengetahui  hukumnya,  sebagaimana  dikatakan  oleh  Nabi  saw
kadang-kadang kelihatan jelas oleh  sebagian  orang  bahwa  ia
halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan
sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada  perkara-perkara  syubhat
yang  diketahui  hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak
orang yang tidak mengetahuinya.
 
Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi
dua:
 
Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil
tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat.
 
Kedua, orang yang  berkeyakinan  bahwa  ada  orang  lain  yang
mengetahui  hukumnya.  Yakni  mengetahui  apakah  masalah  ini
dihalalkan  atau  diharamkan.  Ini  menunjukkan  bahwa   untuk
masalah  yang masih diperselisihkan halal haramnya adalah sama
di  sisi   Allah,   sedangkan   orang   yang   lainnya   tidak
mengetahuinya.  Artinya,  orang  lain itu tidak dapat mencapai
hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT walaupun
dia  berkeyakinan  bahwa  pendapatnya mengenai masalah syubhat
itu sudah benar. Orang seperti ini tetap  diberi  satu  pahala
oleh  Allah  SWT  karena  ijtihad  yang  dilakukannya, dan dia
diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.
 
   "Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat
   maka berarti telah menyelamatkan agama dan
   kehormatannya. Dan barangsiapa yang telah terjerumus
   dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam
   sesuatu yang haram"
 
Hadits ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi  dua
bagian; yakni bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya.
 
Adapun  orang yang mengetahui hukumnya, dan mengikuti petunjuk
ilmu pengetahuan yang  dimilikinya,  maka  dia  termasuk  pada
kelompok ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya
sudah jelas. Inilah kelompok terbaik dalam tiga kelompok  yang
menghadapi  masalah  syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah
dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia,  dan
dia  mengambil  tindakan  sesuai  dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.
 
Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum  Allah  terbagi
menjadi dua:
 
Pertama,  orang  yang  menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini
dianggap   telah   menyelamatkan   (istabra'a)    agama    dan
kehormatannya.   Makna   istabra'a   di   sini  ialah  mencari
keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari
kekurangan dan keburukan.
 
Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan
diri adalah terpuji, seperti halnya mencari  kehormatan  untuk
agamanya.  Oleh sebab itu, ada ungkapan: "Sesungguhnya sesuatu
yang dipergunakan  oleh  seseorang  untuk  menjaga  kehormatan
dirinya termasuk sedekah."
 
Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu
bahwa  perkara  itu  syubhat  baginya.  Sedangkan  orang  yang
melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang syubhat, tetapi
menurut pandangan dirinya sendiri bukan  syubhat,  karena  dia
tahu  bahwa  perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di
sisi  Allah  SWT.  Akan  tetapi,  kalau  dia  khawatir   bahwa
orang-orang  akan  mengecam  dirinya karena melakukan hal itu,
maka meninggalkan perkara itu  dianggap  sebagai  penyelamatan
terhadap  kehormatan  dirinya. Dan ini lebih baik. Sebagaimana
yang  dikatakan  oleh  Nabi  saw  kepada  orang  yang   sedang
melihatnya  berdiri  bersama  Shafiyah;  yakni  Shafiyah binti
Huyai.69
 
Anas  keluar  untuk  shalat  Jumat,   kemudian   dia   melihat
orang-orang  telah  shalat  dan  kembali,  kemudian dia merasa
malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak  tampak  oleh
orang  banyak,  kemudian  dia berkata, "Barangsiapa yang tidak
malu kepada orang, berarti dia tidak malu kepada Allah."
 
Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa
perkara  itu  halal,  dengan ijtihad yang telah diketahui oleh
orang banyak, atau dengan taklid  yang  telah  dilakukan  oleh
orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum
perkara yang dilakukannya adalah  mengikut  hukum  ketika  dia
melakukannya.   Akan   tetapi   kalau  ijtihadnya  lemah,  dan
taklidnya tidak begitu  terkenal  di  kalangan  orang  banyak,
kemudian  dia  melakukan  hal itu hanya sekadar mengikuti hawa
nafsu, maka perkara yang dia lakukan  dihukumi  sebagai  orang
yang melakukan syubhat.
 
Dan   orang   yang   melakukan  perkara  syubhat  padahal  dia
mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti
ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa dia
termasuk orang  yang  terjerumus  dalam  sesuatu  yang  haram.
Pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:
 
Pertama,  syubhat  yang  dilakukan tersebut --dengan keyakinan
bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat--  merupakan  penyebab
baginya  untuk  melakukan  sesuatu  yang haram --yang diyakini
bahwa perkara itu adalah haram.
 
Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadits ini disebutkan,
 
   "Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih
   diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak
   diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang
   jelas berdosa." 70
 
Kedua,  sesungguhnya  orang  yang  memberanikan   diri   untuk
melakukan  sesuatu  yang  masih syubhat baginya, dan dia tidak
mengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka  tidak
dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh
karena itu dia dianggap telah  melakukan  sesuatu  yang  haram
walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.
 
Sesungguhnya Allah SWT telah menjaga hal-hal  yang  diharamkan
dan  melarang  hamba-Nya  uneuk mendekatinya. Larangan itu Dia
namakan  dengan  batas-batas  haram.  Oleh  karena   itu   Dia
menganggap  bahwa orang yang menggembalakan binatang ternaknya
di sekitar batas-batas itu dan dekat dengannya, dianggap telah
melanggar  dan  memasuki  kawasan  yang  diharamkan  oleh-Nya.
Begitu pula orang yang melanggar batas-batas  halal,  kemudian
dia  terjerumus  ke  dalam  syubhat, maka dia dianggap sebagai
orang yang mendekatkan diri kepada  sesuatu  yang  haram.  Dan
sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud mencampur adukkan haram
yang  murni,  agar  orang  terjerumus  ke  dalamnya.  Hal  ini
menunjukkan  bahwa  kita  harus  menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan-Nya dan meletakkan batas antara manusia dan sesuatu
yang haram itu
 
Tirmidzi  dan  Ibn Majah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin
Yazid, dari Nabi saw bersabda,
 
   "Seorang hamba tidak akan dapat mencapai tingkat
   orang-orang yang bertaqwa sampai dia meninggalkan
   sesuatu yang tidak apa-apa baginya karena khawatir akan
   apa-apa baginya."71
 
Abu Darda, berkata, "Kesempurnaan taqwa itu ialah bila seorang
hamba  sudah  bertaqwa kepada Allah SWT; sehingga dia menjauhi
dosa yang paling kecil sekalipun,  dan  meninggalkan  sebagian
perkara yang dia anggap halal karena khawatir perkara tersebut
haram. Dia meletakkan batas antara dirinya  dan  sesuatu  yang
haram itu."
 
Al-Hasan berkata, "Ketaqwaan akan tetap berada pada diri orang
yang bertaqwa kalau mereka banyak  meninggalkan  hal-hal  yang
halal karena khawatir ada sesuatu yang haram di dalamnya."
 
Ats-Tsauri  berkata,  "Mereka  dinamakan  orang  yang bertaqwa
karena mereka menjauhi  apa  yang  tidak  dijauhi  oleh  orang
banyak." 72
 
Diriwayatkan dari Ibn Umar  berkata,  "Sesungguhnya  aku  suka
meletakkan  batas  penghalang  antara  diriku dan sesuatu yang
haram dan yang halal, dan aku tidak akan membakarnya."
 
Maimun bin Mahran berkata,  "Seseorang  tidak  dianggap  telah
melakukan  sesuatu yang halal, sampai dia membuat batas antara
dirinya dan sesuatu yang haram, dengan sesuatu yang halal." 73
 
Sufyan bin Uyainah,  74  berkata,  "Seseorang  tidak  dianggap
telah  mencapai  hakikat  iman  sampai  dia  menciptakan batas
antara yang halal dan yang haram dengan  sesuatu  yang  halal,
dan dia meninggalkan dosa serta yang serupa dengannya." 75
 
Itulah  seharusnya  tindakan  yang harus dilakukan oleh setiap
orang sesuai dengan  tingkatan  keilmuannya.  Ada  orang  yang
tidak  keberatan  sama  sekali untuk melakukan syubhat, karena
dia telah tenggelam di dalam hal-hal yang haram, bahkan  dalam
dosa-dosa  besar. Na'udzu billah. Di samping itu, hal-hal yang
syubhat  harus  tetap  dalam  posisi   syar'inya   dan   tidak
ditingkatkan  kepada  kategori  haram  yang  jelas  dan pasti.
Karena sesungguhnya di antara perkara  yang  sangat  berbahaya
ialah  meleburkan  batas-batas antara berbagai tingkatan hukum
agama, yang telah diletakkan oleh Pembuat Syariah  agama  ini,
di   samping   perbedaan   hasil   dan   pengaruh   yang  akan
ditimbulkannya.
 
Catatan kaki:
 
63 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Nu'man bin Basyir (52),
   (2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599)
   
64 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami'
   as-Shaghir, 4362)
   
65 Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam,
   1:199.
   
66 Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim
   (1390) dari Abu Tsa'labah al-Khasyani.
   
67 Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf,
   4675, 4676, dengan isnad yang shahih.
   
68 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, 8747-8750,
   kemudian disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma', 1: 176,
   dan berkata, "Diriwayatkan oleh Thabrani seluruhnya dengan
   sanad yang rijal-nya shahih." Al-Hawazz sebagaimana yang
   dijelaskan dalam buku an-Nihayah, adalah perkara-perkara yang
   melingkupi hati atau yang paling banyak mempengaruhinya. Yakni
   sesuatu yang terbetik di dalam hati, dan mendorong orang unruk
   melakukan maksiat karena dia sudah kehilangan ketenangan
   dirinya. Syamar meriwayatkan hadits ini dengan kata hawazz,
   yang artinya melintas dan menguasainya.
   
69 Diriwayatkan oleh Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud
   (2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits Shafiyyah.
   
70 Diriwayatkan oleh Bukhari saja (2051).
   
71 Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2451); Ibn Majah (4215).
   Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan gharib, padahal dalam
   rangkaian sanad hadits ini ada Abdullah bin Yazid al-Dimasyqi
   yang dianggap dha'if."
   
72 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 7:384, dari
   ucapan Sufyan bin Uyainah.
   
73 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 4:84.
   
74 al-Hilyah, 7:288
   
75 Ibn Rajab. Jami al-'Ulum wa al-Hikam, 1:209,200, cet.
   Al-Risalah yang di-tahqiq (diseleksi) oleh Syu'aib al-Arnauth,
   yang beberapa takhrij haditsnya telah kita gunakan.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team