| |
[ maksiat besar
hati
] [ Masalah pokok
dan cabang
]
[ The Best of
you is most contributing for the people
] [ mengapa pembinaan ]
[ syubhat
] [ Warisan
pemikiran ] [ prioritas
fardu atas sunnah ]
[
prioritas amalan terlarang ] [
pembinaan ] [
kufur-musyrik-munafik ]
[
perbaiki diri sebelum sistem ] [
prioritas amal di zaman fitnah ]
[
meluruskan budaya kaum muslimin ] [ profil muslim ]
oleh Dr. Yusuf Qardhawi |
BID'AH DALAM AQIDAH
SEBAGAI tambahan penjelasan bagi kemaksiatan, dalam syariah
agama ini kita mengenal apa yang disebut dengan bid'ah. Yaitu
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia dalam urusan agama.
Baik bid'ah yang berkaitan dengan aqidah yang dinamakan dengan
bid'ah ucapan, maupun bid'ah yang berkaitan dengan amalan.
Bid'ah-bid'ah ini merupakan salah satu jenis perkara yang
diharamkan tetapi berbeda dengan kemaksiatan yang biasa.
Sesungguhnya pelaku bid'ah ini mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan bid'ah-bid'ah tersebut, dan berkeyakinan bahwa
dengan bid'ahnya itu dia telah melakukan ketaatan terhadap
Allah dan beribadah kepada-Nya. Dan inilah yang paling
membahayakan.
Bid'ah itu sendiri bisa berupa keyakinan yang bertentangan
dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw dan ajaran
yang terdapat di dalam Kitab Allah. Dan bid'ah untuk jenis ini
kita sebut dengan bid'ah dalam aqidah (al-bid'ah
al-i'tiqadiyyah) atau bid'ah dalam ucapan (al-bid'ah
al-qawliyyah); yang sumbernya ialah mengatakan sesuatu tentang
Allah yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan. Perkara ini
termasuk salah satu perkara haram yang sangat besar. Bahkan
Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa perkara ini merupakan perkara
haram yang paling besar. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raf: 33)
Termasuk dalam hal ini ialah perbuatan mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh Allah, tanpa dasar yang jelas; sebagaimana
difirmankan oleh-Nya:
"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang
diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.'
Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?'" (Yunus: 59)
Selain itu, juga perbuatan yang dimaksudkan untuk beribadah
kepada Allah tetapi tidak disyariahkan dalam ajaran agama-Nya,
seperti mengadakan upacara-upacara keagamaan yang tidak
diajarkan oleh agama.
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariahkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan oleh Allah?..." (as-Syura: 21)
Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Jauhilah, hal-hal baru dalam urusan agama, karena
sesungguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan."59
"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami,
dan ia tidak ada dalam ajaran kami, maka sesuatu itu
tidak diterima."60
Kedua macam bid'ah di atas --sebagaimana dikatakan oleh Ibn
al-Qayyim-- adalah saling bergantung satu dengan lainnya.
Jarang sekali bid'ah yang terpisah satu dengan lainnya;
sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: "bid'ah dalam
perkataan berkawin dengan bid'ah amalan; kemudian kedua
"pengantin" itu sibuk merayakan perkawinannya. Lalu keduanya
melahirkan anak-anak zina yang hidup di negeri Islam; kemudian
mereka bersama-sama kaum Muslimin menuju kepada Allah SWT."
Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, "Hakikat "dikawinkannya"
kekafiran dengan bid'ah adalah lahirnya kerugian di dunia dan
akhirat."
Bid'ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan, karena
hal itu bertentangan dengan ajaran agama. Di samping itu,
orang yang melakukan bid'ah tidak merasa perlu bertobat, dan
kembali kepada jalan yang benar. Bahkan dia malah mengajak
orang lain untuk menjalankan bid'ah itu bersama-sama. Seluruh
isi bid'ah itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. bid'ah menolak semua ajaran agama yang
dibenarkan. Ia memberi dukungan kepada orang yang memusuhi
agama, dan memusuhi orang yang mendukung agama ini. Ia
menetapkan apa yang di-nafi-kan oleh agama, dan me-nafi-kan
apa yang telah ditetapkan oleh agama.6,
Seluruh bid'ah tidak berada pada satu tingkatan. Ada bid'ah
yang berat dan ada pula bid'ah yang ringan. Ada bid'ah yang
disepakati dan ada pula bid'ah yang dipertentangkan.
Bid'ah yang berat ialah bid'ah yang dapat menjadikan pelakunya
sampai kepada tingkat kekufuran. Semoga Allah SWT memberikan
perlindungan kepada kita dari perbuatan tersebut. Misalnya,
kelompok-kelompok yang keluar dari pokok-pokok ajaran agama
ini, dan memisahkan diri dari umat; seperti: Nashiriyah, Druz,
Syi'ah Ekstrim dan Ismailiyah yang beraliran kebatinan, dan
lain-lain; sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali:
"Secara lahiriah mereka menolak, dan secara batiniah mereka
kufur." Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, "Mereka lebih kufur
daripada orang Yahudi dan Nasrani, dan oleh sebab itu
perempuan mereka tidak boleh dinikahi, sembelihan mereka tidak
boleh dimakan, padahal sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan dan
wanita mereka boleh dinikahi."
Bid'ah berat yang tidak sampai membuat pelakunya termasuk ke
dalam kekufuran tetapi hanya sampai kepada kefasiqan. Yaitu
kefasiqan dalam bidang aqidah dan bukan kefasiqan dalam
perilaku mereka. Pelaku bid'ah ini kadang-kadang shalatnya
paling lama dibandingkan dengan orang lain. Mereka palυng
banyak berpuasa dan membaca al-Qur'an; seperti yang dilakukan
oleh orang-orang Khawarij. "Salah seorang di antara kalian
akan meremehkan shalatnya jika dibandingkan dengan shalat
mereka (orang-orang Khawarij), meremehkan puasanya jika
dibandingkan dengan puasa mereka, dan meremehkan tilawahnya
jika dibandingian dengan tilawah mereka." Letak kerusakan
mereka bukan pada perasaan mereka, tetapi pada akal pikiran
mereka yang enggan dan membatu. Sehingga mereka mau membunuh
orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang yang menyembah
berhala.
Kelompok yang serupa dengan Khawarij ini sangat banyak,
seperti Rafidhah, Qadariyah, Mu'tazilah dan mayoritas kelompok
Jahmiyah, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Qayyim.62
Ada bid'ah yang termasuk kategori bid'ah yang ringan, yang
sebabnya berasal dari kesalahan dalam melakukan ijtihad, atau
salah dalam mempergunakan dalil, bid'ah seperti ini sama
dengan dosa-dosa kecil dalam kemaksiatan.
Di samping itu, ada pula bid'ah yang masih diperselisihkan.
Artinya, sesuatu kaum yang menetapkan bahwa suatu perkara
termasuk bid'ah tetapi kaum Muslimin yang lainnya tidak
mengatakannya bid'ah. Contohnya, bertawassul dengan Nabi saw,
hamba-hamba Allah yang salih. Perkara ini adalah amalan
furu'iyah dan bukan masalah aqidah dan pokok-pokok agama;
sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Banna, yang dikutip
Imam Muhammad bin Abd al-Wahab.
Contoh lainnya, ialah disiplin melakukan ibadah. Apakah hal
ini termasuk bid'ah atau tidak?
Sesungguhnya, bid' ah tidak berada pada tingkat yang sama, dan
begitu pula orang yang melakukannya. Ada orang yang
menganjurkan kepada bid'ah, dan ada pula orang yang hanya
sekadar ikut melakukan bid'ah dan tidak mengajak orang lain
untuk melakukannya. Semua kelompok memiliki keterkaitan hukum
yang berbeda.
Catatan kaki:
59 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Irbad bin Sariyah. 43, 44; dan
Hakim. 1:95; dan Ibn Hibban
60 Munattaq 'Alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari, 2697; dan
diriwayatkan oleh Muslim. 1718.
61 Lihat Madarij al-Salikin, I :222-223.
62 Lihat Madarij al-Salikin. 1: 362
------------------------------------------------------
|
|
|
PRIORITAS WALA' (LOYALITAS) KEPADA UMAT
ATAS WALA' TERHADAP KABILAH DAN INDIVIDU
MAKNA ungkapan tersebut ditegaskan dalam al-Qur'an dan Sunnah
Nabi saw yang menganjurkan kepada kita untuk mendahulukan
wala' kepada jamaah, serta memberikan ikatan emosional
terhadap umat, daripada memberikan wala' kepada kelompok dan
keluarga. Sesungguhnya dalam Islam tidak ada individualisme,
fanatisme kelompok, dan pemisahan dari jamaah Islam.
Dahulu konsep kabilah/kelompok/suku pada masyarakat jahiliyah
merupakan dasar loyalitas dan poros pemberian Perlindungan.
Wala' yang diberikan oleh seseorang kepada kabilahnya harus
diberikan pada saat kabilahnya melakukan kebenaran maupun
kesalahan; sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:
Mereka tidak bertanya terlebih dahulu kepada saudara mereka
ketika mereka jatuh ke dalam suatu perkara, dan menjadikan
jawabannya sebagai bukti.
Motto setiap orang di antara mereka ialah: "Tolonglah
saudaramu, baik dia zhalim atau dizhalimi," yang benar-benar
mereka laksanakan.
Setelah datang Islam, maka Islam menetapkan bahwa pembelaan
itu hanya milik Allah, RasulNya, dan kaum Muslimin, yakni Umat
Islam. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya,
dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti
menang." (al-Ma'idah: 55-56)
Mereka kemudian dididik oleh al-Qur'an dan sunnah Nabi saw
untuk menjadi saksi keadilan bagi Allah, dengan melepaskan
ikatan emosional dan cinta kepada sanak kerabat, serta tidak
didasarkan kepada kebencian kepada musuh-musuhnya. Keadilan
harus diletakkan di atas emosi dan ditujukan kepada Allah,
sehingga seseorang tidak melakukan pemihakan kepada orang yang
dicintai olehnya dan merugikan orang yang tidak dia sukai.
Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
Muslimin kerabatmu. . ." (an-Nisa': 135)
"Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah..." (al-Ma'idah: 8)
Rasulullah saw memakai sebagian ungkapan yang pernah
dipergunakan pada zaman Jahiliyah, dan memberi muatan makna
yang baru pada ungkapan itu, yang belum pernah dilakukan oleh
seseorang sebelumnya. Rasulullah saw bersabda, "Tolonglah
saudara, baik dia zhalim atau dizhalimi." Para sahabat
kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, kita boleh menolong kalau
dia dizhalimi, lalu bagaimana mungkin kami memberikan
pertolongan kalau dia berlaku zhalim?" Rasulullah saw
bersabda, "Cegahlah dia untuk tidak melakukan kezhaliman,
karena sesungguhaya hal itu merupakan pertolongan baginya."25
Dengan cara seperti itu benarlah konsep pemberian bantuan
terhadap orang yang zhalim, sehingga yang perlu ditolong ialah
hawa nafsunya, menyingkirkan setannya, dan kita perlu
menggandeng tangannya sehingga dia tidak jatuh ke jurang
kezhaliman, yang menjadi malapetaka di dunia dan kegelapan di
akhirat kelak.
Di samping itu, Rasulullah saw juga memperingatkan kepada kita
agar tidak menganjurkan fanatisme, atau melakukan peperangan
di bawah panji fanatisme. Barangsiapa yang terbunuh di bawah
bendera fanatisme itu, dia dianggap terbunuh dalam
kejahiliyahan.
Dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan bahwa Nabi saw
bersabda,
"Barangsiapa terbunuh di bawah bendera kebutaan (perkara
yang tidak jelas hukumnya), menganjurkan fanatisme, dan
mendukung fanatisme, maka dia mati dalam
kejahiliyahan."26
Dalam hadits yang lain disebutkan,
"Barangsiapa memisahkan diri dari ketaatan dan
meninggalkan jamaah, kemudian dia meninggal dunia, maka
dia mati dalam kejahiliyahan. Dan barangsiapa berperang
di bawah bendera kebutaan, marah karena rasa fanatik,
atau menganjurkan orang untuk fanatik, dan mendukung
fanatisme, kemudian dia terbunuh, maka dia terbunuh
dalam keadaan jahiliyah."27
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dikatakan, "Tidak termasuk golongan kami orang yang
menganjurkan fanatisme, dan juga tidak termasuk golongan kami
orang yang berperang karena fanatisme, dan juga tidak termasuk
golongan kami orang yang meninggal dunia dalam fanatisme."28
"Diriwayatkan dari Watsilah bin al-Asqa', aku berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan
fanatisme itu ?" Beliau menjawab, "Memberikan
pertolongan kepada kaummu yang melalaikan kezhaliman."
79
Ibn Mas'ud meriwayatkan secara mauquf dan marfu',
"Barangsiapa menolong kaumnya yang melakukan sesuatu
yang tidak benar, maka dia bagaikan keledai yang
digantung, dengan ikatan pada ekornya." 30
Imam al-Khattabi berkata, "Artinya, orang itu telah jatuh ke
dalam dosa dan hancur, sebagaimana keledai yang terjatuh ke
dalam perigi kemudian ia diambil dengan ditarik ekornya, yang
akhirnya tidak dapat diselamatkan."
Nabi saw sangat membenci fanatisme dan berlepas diri darinya,
orang-orang yang menganjurkannya, orang-orang yang berperang
karenanya, dan orang yang meninggal dunia karena membelanya.
Beliau menganjurkan hidup berjamaah, dan menegaskannya dengan
sabda, perbuatan, dan ketetapannya. Dia memperingatkan agar
orang tidak memisahkan diri darinya, berselisih pendapat, dan
menyimpang dari jamaah tersebut. Di antara sabda Nabi saw yang
berkaitan dengan perkara ini ialah:
"Tangan Allah berada di atas jamaah." 31
"Berjamaah itu adalah rahmat, dan berpecah-belah adalah
azab." 32
Dalam lafaz yang lain disebutkan,
"Berjamaah itu adalah berkah dan berpecah-belah adalah
azab."33
"Hendaklah kamu hidup berjamaah, dan janganlah kamu
hidup berpecah-belah, karena sesungguhnya setan akan
bersama orang yang sendirian, dan dia akan berada lebih
jauh dari dua orang. Barangsiapa yang ingin merasakan
hembusan angin surga, maka hendaklah dia melazimkan
hidup berjamaah."34
MENANAMKAN SEMANGAT BERJAMAAH TERHADAP UMAT
Ketika kita berbicara tentang pemberian wala' kepada kaum
Muslimin, umat Islam, ada baiknya kita juga melanjutkannya
dengan pembicaraan yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan
umat, pemberian prioritas dalam tangga kemaslahatan dan
tuntutannya.
Kalau kita mau memperhatikan, maka sesungguhnya syari'ah Islam
ini sama sekali tidak melalaikan urusan masyarakat, dari segi
ibadah, muamalah, sopan santun, dan segala hukum yang
berkaitan dengannya.
Semua aturan itu tidak lain adalah untuk menyiapkan setiap
individu agar menjadi 'bagian' dalam bangunan masyarakat, atau
'anggota tubuh' dalam struktur badan yang hidup.
Penggambaran seorang individu yang menjadi 'bagian' dari
bangunan, atau 'anggota tubuh' dalam badan manusia, bukanlah
berasal dari pemikiran saya. Tetapi gambaran yang pernah
dikemukakan oleh Nabi saw dalam sebuah hadits yang shahih.
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari bahwasanya Nabi saw
bersabda,
"Orang mukmin dengan mukmin yang lainnya bagaikan satu
bangunan yang saling menguatkan antara satu bagian
dengan bagian yang lainnya." 35
Dari Nu'man bin Basyir diriwayatkan bahwasanya Nabi saw
bersabda,
"Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta dan kasih
sayang mereka adalah bagaikan sebuah tubuh. Apabila ada
salah satu anggota tubuhnya yang mengadu kesakitan, maka
anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya, tidak
dapat tidur dan merasa demam." 36
Sesungguhnya Islam, dengan al-Quran dan Sunnah Nabinya, telah
menanamkan dalam jiwa kaum Muslimin semangat untuk hidup
berjamaah melalui setiap hukum dan ajarannya.
Dalam shalat, kita dianjurkan shalat berjamaah, shalat Jumat,
shalat Id. Ada adzan dan ada masjid-masjid yang dibangun.
Rasulullah tidak memberikan keringanan kepada orang buta untuk
shalat di rumahnya selama dia masih dapat mendengarkan
panggilan adzan untuk melakukan shalat. Beliau bahkan pernah
hendak membakar rumah suatu kaum Muslimin, karena mereka
meninggalkan shalat berjamaah.
Di masjid, seorang Muslim tidak boleh shalat sendirian di
belakang barisan orang yang sedang shalat berjamaah, karena
hal itu menunjukkan bentuk pemisahan diri dan penyimpangan
dari jamaah; walaupun itu hanya bentuk yang tampak saja.
Diriwayatkan dari Wabishah bin Mu'abbad bahwasanya Rasulullah
saw melihat seorang lelaki shalat sendiri di belakang barisan
orang yang sedang shalat berjamaah, kemudian beliau
memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. 37
Diriwayatkan dari Ali bin Syaiban r.a. berkata, "Kami keluar
sehingga kami berjumpa dengan Nabi saw kemudian kamj
menyatakan janji setia kepadanya. Kami shalat di belakangnya,
kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain. Kemudian
shalat itu selesai. Setelah itu beliau melihat seorang lelaki
shalat sendirian di belakang barisan. Lalu Nabi saw berdiri
ketika beliau hendak kembali sambil bersabda, "Betulkan
shalatmu, karena sesungguhnya tidak ada shalat di belakang
barisan." 38
Oleh sebab itu, orang Muslim yang masuk masjid, kemudian dia
menemukan ada suatu jamaah yang sedang melakukan shalat, maka
hendaklah dia mencari celah-celah di antara jamaah itu
kemudian dia masuk ke dalamnya. Jika tidak ada, maka hendaklah
dia menarik salah seorang di antara mereka untuk shalat di
sampingnya. Dia tidak boleh shalat sendirian, dan orang yang
ditarik itu hendaklah mengikutinya; karena untuk kasus ini dia
akan mendapatkan pahala tersendiri.
Sebagian imam mazhab mengambil pengertian lahiriah
hadits-hadits tersebut, sehingga mereka menganggap batal orang
yang shalat sendirian; sedangkan imam yang lainnya menganggap
bahwa hal itu hukumnya makruh.
Arti dari apa yang telah kami sebutkan di atas ialah betapa
gigihnya Islam hendak mewujudkan persatuan dan kesatuan, baik
dari segi kandungannya maupun bentuknya, dari inti maupun
penampakan luarnya.
Kalau ada seorang Muslim yang shalat sendirian, tidak sedang
berjamaah, maka dia dianggap mewakili kaum Muslimin dalam
memanjatkan doa kepada Tuhannya. Dia menyebut dirinya dengan
mengatasnamakan jamaah (kesatuan kaum Muslimin) sehingga dia
membaca:
"Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu
kami memohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada kami
untuk meniti jalan yang lurus." (al-Fatihah: 5-6)
Dia tidak memohon pertolongan untuk dirinya sendiri bahkan
memohon untuk dirinya dan jamaahnya dalam saat yang sama.
Pada bulan puasa, dia juga tidak berpuasa sendirian. Ketika
seseorang melihat bulan sabit pada akhir bulan Ramadhan, dia
juga tidak berbuka sendiri; yaitu ketika dia melihat dengan
mata kepalanya sendiri bulan sabit yang menunjukkan kedatangan
bulan Syawal itu. Dia berpuasa bersama orang-orang Muslim
lainnya, dan juga berbuka puasa bersama-sama dengan mereka,
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih.
Begitu pula halnya dengan wukuf di Arafah. Dia melakukan wukuf
bersama jamah kaum Muslimin yang sangat banyak.
Ibn Taimiyah pernah ditanya oleh penduduk desa yang melihat
bulan sabit Dzulhijjah, tetapi penguasa di Madinah tidak
melihatnya. Apakah mereka boleh melakukan puasa 9 Dzulhijjah
berdasarkan perhitungan orang desa itu, walaupun pada
hakikatnya hari itu adalah 10 Dzulhijjah menurut pendapat
penguasa mereka. Dia menjawab, "Ya, mereka boleh berpuasa pada
9 Dzulhiljah berdasarkan penglihatan mereka, walaupun menurut
penghitungan penguasa hari itu 10 Dzulhijjah; karena ada
hadits dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw
bersabda,
"Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa, dan
hari raya kamu adalah ketika kamu semua berhari raya,
dan Id al-Adha-mu adalah ketika kamu semua berhari raya
Id al-Adha." 39
Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda,
"Hari raya Id al-Fitri ialah ketika semua orang berhari
raya Id al-Fitri, dan hari raya Id al-Adha ialah ketika
semua orang berhari raya Id al-Adha." 40
Demikianlah amalan menurut pendapat para imam kaum Muslimin.
Karena sesungguhaya, apabila semua orang tidak tepat
tarikh-nya berada di Arafah pada tanggal sepuluh Dzulhijjah,
maka semua imam sepakat bahwa mereka akan tetap diberi pahala
wuquf di Arafah. Dan itulah Hari Arafah menurut mereka. 41
Catatan kaki:
25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi dari Anas;
dan juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir dengan makna
hadits yang sama (lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1501,
1502)
26 Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Imarah, no. 1850,
dari Jundub bin Abdullah al-Bajali.
27 Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. hadits
no. 1848
28 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Adab min
al-Sunan (5121)
29 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5119)
30 Hadits mauquf yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (5117) dan
marfu' (5118)
31 Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibn Abbas, Ibn Ashim; dan
Hakim dari Ibn Umar, Ibn Abi Ashim, dari Usamah bin Syarik,
sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (8065)
32 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad; dan Ibn Abi Ashim
dalam as-Sunnah dari Nu'man bin Basyir; sebagaimana disebutkan
dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir.
33 Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman juga dari
Nu'man; sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami'
as-Shaghir (3014)
34 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dalam al-Jihad
(2528). Ibn Majah (2782). di-shahihkan oleh Hakim. 4: 152-153,
yang disepakati oleh adz-Dzahabi.
35 Muttafaq 'Alaih, dari Abu Musa. Lihat al-Lu'lu' wa
al-Marjan (1670)
36 Muttafaq 'Alaih, dari Nu'man bin Basyir, lihat al-Lu'lu'
wal-Marjan (1671)
37 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (682); Tirmidzi yang
menganggapnya sebagai hadits hasan (230); dan Ibn Majah (1004)
38 Diriwayalkan olch Ibn Majah ( 1003), dan disebutkan dalam
az-ZIwa tid bahwa isnad hadits ini shahih, danpara perawinya
tsiqah (dapat dipercaya).
39 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi yang
men-shahih-kan hadits ini.
40 Diriwayatkan oleh Tirmidzi .
41 Syarh Ghayah al-Muntaha fi al-Fiqh al-Hanbali, 2: 217-218.
------------------------------------------------------
|
|
Selasa 13 Maret 2001 06.52 WIB
Profil Pribadi Muslim
Oleh : Muhammad Ammar Azmi
Jakarta PeKa Online, Al-Qur'an dan
sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap
muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat
penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang
dikehendaki Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap,
ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda.
Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu
tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah.
Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus
melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang
berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan,
sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang
mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada
Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan
ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim
akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang
artinya: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua
bagi Allah tuhan semesta alam" (QS. 6:162). Karena aqidah yang salim
merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da'wahnya kepada para
sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam
satu haditsnya, beliau bersabda: "Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku
shalat". Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang
berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh
setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan
makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam
hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki
akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk
memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya
yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur'an. Allah
berfirman yang artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki
akhlak yang agung" (QS. 68:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada.
Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat
melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat,
puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan
dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan
bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim
dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun
demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu
kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena
kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda
yang artinya: "Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang
lemah (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga
penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur'an
juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir,
misalnya firman Allah yang artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: " pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang
lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berfikir" (QS 2:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali
harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki
wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan
pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan
intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah:
"samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?"',
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran".
(QS 39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada
pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang
baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari
yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala
seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap
diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda
yang artinya: "Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan
hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)" (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini
karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti
wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24
jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan
tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan:
"Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu". Waktu merupakan
sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya
dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang
sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan
momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum
mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan
kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang
ditekankan oleh Al Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik
yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan
dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama,
maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun
yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh,
bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan
hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang
muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan
berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki
kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan
prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi.
Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya
bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat,
infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah
mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur'an maupun hadits dan hal itu memiliki
keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut
memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya
mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil
dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi'un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi'un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim.
Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada,
orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim
tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya
dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik
dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR. Qudhy dari
Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur'an
dan sunnah. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
***
|